Aku masih mengingat dengan jelas, setiap kali kamu merengek manja
minta ditemani ke cafe favoritmu itu. Padahal kamu tahu, aku sudah
sangat lelah sekali. Bekerja seharian demi mengumpulkan pundi-pundi
rupiah, untuk melamarmu tahun depan.
Tapi aku cuma ingin melihat senyum terus merekah di wajahmu. Lelah yang
aku rasakan ini, tak lagi aku pedulikan. Asal kamu bahagia dan
permintaanmu masih masuk akal, aku akan berupaya mewujudkannya.
Namun begitu mudahnya untukmu meninggalkanku di sini, tanpa sebab, tanpa alasan. Seperti tak berarti, semua yang telah kuperjuangkan, begitu saja kamu hancurkan. Kamu pula yang mengenyahkan segala harapan, serta meruntuhkan segala doa-doa yang terus kurapalkan tiap malam. Aku tak tahu lagi bagaimana harus menghadapai hari tanpa kamu di sisi.
Apakah
kau masih ingat bagaimana kali pertama kita bertemu? Di suatu hari
yang tak sengaja, kita bertukar sapa, bertatap mata. Dan, sejak itulah
kita mulai mengeja nama kita masing-masing, dalam doa setelah mengenal
dirimu begitu dalam.
Lalu, kamu bimbing aku untuk mengenal dan masuk dalam keluargamu yang tak bisa dibilang gampang untukku. Adakah kau masih ingat? Rupanya lucu juga ya, perjalanan kita dulu? Sebuah pengalaman yang tak mudah untuk kulupakan begitu saja.
Perjalanan
kita berlanjut seirama dengan lajunya waktu. Aku tahu setelah itu,
kita sama-sama berjuang mempertahankan hubungan kita ini. Meremajakan
hubungan agar lebih bahagia. Mendewasakan pribadi kita bersama.
Melangkah beriringan dengan membusungkan dada melewati orang-orang,
supaya mereka tahu, kitalah pasangan yang paling bahagia di dunia.
Tapi, entah bagaimana, aku merasa ada sebuah ketidakadilan. Mungkin ini perasaanku saja. Tapi ternyata memang benar. Hanya akulah yang berjuang mempertahankan hubungan kita. Setelah aku sadar, aku tak melihat bentuk usahamu untuk memperjuangkan kita. Hubungan yang timpang ini akhirnya bermuara pada keputusanmu untuk meninggalkanku begitu saja. Apa aku masih kurang berjuang di matamu? Atau kamu hanya bisa menikmati waktu dan memanfaatkan cinta dariku saja? Sebatas itu?
Waktu
meluncur begitu deras, cepat dan seolah tak berbekas. Kamu hilang
begitu saja. Menghilang tanpa sebab dengan meninggalkanku dengan hati
yang retak. Bodohnya aku, tak kusisakan tenaga untuk menghadapi
keputusanmu itu. Karena tenagaku telah terkuras habis untuk
mempertahankan hubungan kita.
Kini dengan harus merangkak, aku harus berusaha mengembalikan kekuatanku dan kebahagiaanku sendiri. Seperti hari-hariku sebelum ada kamu. Namun sayangnya hatiku yang telah retak, tak akan bisa kembali seperti semula. Tetap ada luka yang sesekali membuat nyeri.
Aku
merasa hanya kamulah yang bisa menuntunku ke jalan yang lebih baik,
maka tak pernah kuragukan lagi pilihan dan keputusanmu. Semua ajakan
dan saranmu kuturuti dengan baik. Ya, seperti itulah harapanku atasmu.
Harapan yang begitu besar pada seseorang yang kelak akan melengkapi
rumah tangga masa depanku. Kamulah satu-satunya yang bisa menguatkanku.
Awalnya
aku ragu, bagaimana melewati hari-hari tanpamu. Setelah sekian lama
kita bersama, kamu telah menjadi candu bagi darahku. Pagi hari adalah
masa-masa yang sulit untukku. Siang, ia menjelma ketakutan untukku.
Malam, ia bagaikan malapetaka untukku. Sebab sehari penuh tiada kamu di
sisi. Betapa berat, betapa sesak, melihatmu tiada di sisi.
Manusia
mana sih yang bisa menerima begitu saja perpisahan yang janggal,
sementara salah satu dari mereka berjuang begitu hebatnya dalam
mempertahankan hubungannya? Awalnya aku memang merasa sangat kecewa
denganmu. Rasa sekian banyak hal yang aku lakukan selama ini berakhir
sia-sia.
Tapi aku tak pernah sedikit pun berkeinginan untuk memupuk sesal dan benciku padamu. Biar bagaimanapun, kamu pernah menghargai dan menghiasi hidupku dengan canda-tawamu. Maka dengan itu, percayalah, masih ada namamu dalam doaku.
Aku
memang masih menyebut namamu dalam doaku. Tapi jangan berharap lebih.
Nanti di suatu hari, ketika kamu merasa sepi dan tak tahu jalan pulang,
jangan pernah sekali-kali mencariku. Aku bukan lagi rumah tempatmu
pulang. Aku sudah bukan jalanan yang bisa kamu lewati setiap waktu.
Sebab aku yakin, pada akhirnya kamu akan sadar, akulah satu-satunya orang yang paling bisa menerimamu pulang. Setelah berpetulang meninggalkanku tanpa alasan, kamu akan sadar, akulah orang yang paling kamu harapkan. Namun aku mantap meyakinkan diriku sendiri. Jalan kita lebih baik sendiri-sendiri.
Namun begitu mudahnya untukmu meninggalkanku di sini, tanpa sebab, tanpa alasan. Seperti tak berarti, semua yang telah kuperjuangkan, begitu saja kamu hancurkan. Kamu pula yang mengenyahkan segala harapan, serta meruntuhkan segala doa-doa yang terus kurapalkan tiap malam. Aku tak tahu lagi bagaimana harus menghadapai hari tanpa kamu di sisi.
Entahlah. Kamu memang sengaja membuatku terpuruk sebagai laki-laki seperti ini. Atau kamu tak pernah mengerti bagaimana jatuh-bangunku mempertahankanmu?
Kalau kamu mau mengingat, ada usahaku untuk mengeja namamu dalam doaku, mengenal dirimu lebih jauh, hingga keluargamu. Apa perjuanganku masih kurang di matamu?
Apa perjuanganku masih kurang? via unsplash.com
Lalu, kamu bimbing aku untuk mengenal dan masuk dalam keluargamu yang tak bisa dibilang gampang untukku. Adakah kau masih ingat? Rupanya lucu juga ya, perjalanan kita dulu? Sebuah pengalaman yang tak mudah untuk kulupakan begitu saja.
Perjuanganku belum usai. Mempertahankan hubungan kita hingga beberapa tahun juga menjadi bagian dari perjuanganku yang kamu sia-siakan
Perjuanganku mempertahankanmu tak pernah kau lihat via unsplash.com
Tapi, entah bagaimana, aku merasa ada sebuah ketidakadilan. Mungkin ini perasaanku saja. Tapi ternyata memang benar. Hanya akulah yang berjuang mempertahankan hubungan kita. Setelah aku sadar, aku tak melihat bentuk usahamu untuk memperjuangkan kita. Hubungan yang timpang ini akhirnya bermuara pada keputusanmu untuk meninggalkanku begitu saja. Apa aku masih kurang berjuang di matamu? Atau kamu hanya bisa menikmati waktu dan memanfaatkan cinta dariku saja? Sebatas itu?
Lalu dengan mudahnya kamu menghilang tanpa sebab. Meninggalkanku begitu saja dengan hati retak
Meninggalkanku dengan hati retak via www.logancoleblog.com
Kini dengan harus merangkak, aku harus berusaha mengembalikan kekuatanku dan kebahagiaanku sendiri. Seperti hari-hariku sebelum ada kamu. Namun sayangnya hatiku yang telah retak, tak akan bisa kembali seperti semula. Tetap ada luka yang sesekali membuat nyeri.
Padahal kamu tahu, begitu besar harapan yang kutaruh di pundakmu. Bukannya aku bergantung, melainkan kamulah satu-satunya yang bisa menguatkanku
Kamu satu-satunya yang pernah menguatkanku via nouba.com.au
Betapa berat menjalani hari-hari tanpamu. Tapi aku percaya, kamu juga tak sanggup melewati hari tanpaku
Aku yakin jiwamu juga sepi via www.logancoleblog.com
Tapi aku percaya, kamu juga merasakan hal yang sama. Entah kenapa, aku percaya itu. Mungkin kamu hanya berpura-pura tegar dalam pelarianmu atasku.
Tapi aku tak pernah menyesali hubungan kita yang telah berlalu. Doa-doaku masih menyebut namamu dalam semogaku
Masih ada namamu dalam setiap doaku via elizabethwellsphoto.com
Tapi aku tak pernah sedikit pun berkeinginan untuk memupuk sesal dan benciku padamu. Biar bagaimanapun, kamu pernah menghargai dan menghiasi hidupku dengan canda-tawamu. Maka dengan itu, percayalah, masih ada namamu dalam doaku.
Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu itu.
Pada akhirnya, jangan pernah mencariku lagi. Jalan kita memang tak bisa disatukan lagi
Jalan kita tak lagi satu via dylandsara.com
Sebab aku yakin, pada akhirnya kamu akan sadar, akulah satu-satunya orang yang paling bisa menerimamu pulang. Setelah berpetulang meninggalkanku tanpa alasan, kamu akan sadar, akulah orang yang paling kamu harapkan. Namun aku mantap meyakinkan diriku sendiri. Jalan kita lebih baik sendiri-sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar